Iman Kepada Allah
1. Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada Allah
Firman Allah SWT:
Wahai
orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad
SAW), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah
diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah,
malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka
sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat. QS. an-Nisaa' (4): 136.
Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. QS. al-Baqarah (2): 163.
Allah
itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak
kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah
segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang
yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia
mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka,
sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali
apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi.
Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255.
Dialah
Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui
perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja
Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang
Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari
segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang
menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai
nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya.
Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24
Dalam Surat Al-Ikhlash, yang mempunyai arti:
"Katakanlah olehmu (hai
Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk
dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan
tidak diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding
dengan Dia." QS. al-Ikhlash (112): 1-4.
Sabda RasululIah SAW:
Katakanlah
olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): Saya
telah beriman akan Allah; kemudian berlaku luruslah kamu. (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).
Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).
Barangsiapa
mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga.
Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti
masuk neraka. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12.
2. Pengertian Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah ialah:
1. Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah;
2.
Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya
menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat
segenap makhluk-Nya;
3.
Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat
sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari
menyerupai segala yang baharu (makhluk).
Demikianlah pengertian iman akan Allah, yang masing-masing diuraikan dalam pasal-pasal yang akan datang.
Makrifat
Perlu dijelaskan lebih dahulu, bahwa membenarkan dalam
pengertian iman seperti yang tersebut di atas, ialah suatu pengakuan
yang didasarkan kepada makrifat. Karena itu perlulah kiranya diketahui
dahulu akan arti dan kedudukan makrifat itu.
Makrifat ialah: "Mengenal Allah Tuhan seru sekalian alam" untuk mengenal
Allah, ialah dengan memperhatikan segala makhluk-Nya dan memperhatikan
segala jenis kejadian dalam alam ini. Sesungguhnya segala yang
diciptakan Allah, semuanya menunjukkan akan "adanya Allah". memakrifati
Allah, maka Dia telah menganugerahkan akal dan pikiran. Akal dan pikiran
itu adalah alat yang penting untuk memakrifati Allah, Zat yang Maha
Suci, Zat yang tiada bersekutu dan tiada yang serupa. Dengan
memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman. Makrifat itulah
menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu' dan
khusyuk didalam jiwa manusia. Karena itulah makrifat dijadikan sebagai
pangkal kewajiban seperti yang ditetapkan oleh para ahli ilmu Agama.
Semuanya menetapkan: "Awwaluddini, ma'rifatullah permulaan agama, ialah mengenal Allah". Dari kesimpulan inilah pengarang az-Zubad merangkumkan syairnya yang berbunyi:
Permulaan kewajiban manusia, ialah mengenal akan Allah dengan keyakinan yang teguh.
Dalam pada itu, harus pula diketahui, bahwa makrifat yang diwajibkan
itu, ialah mengenali sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang dikenal
dengan al-Asmaul Husna (nama-nama
yang indah lagi baik). Adapun mengetahui hakikat Zat-Nya, tidak
dibenarkan, sebab akal pikiran tidak mampu mengetahui Zat Tuhan. Abul
Baqa al-'Ukbary dalam Kulliyiat-nya
menulis: "ada dua martabat Islam: (l) di bawah iman, yaitu mengaku
(mengikrarkan) dengan lisan, walaupun hati tidak mengakuinya; dan (2) di
atas iman, yaitu mengaku dengan lidah mempercayai dengan hati, dan
mengerjakan dengan anggota".
Sebagian besar ulama Hanafiyah dan ahli hadits menetapkan bahwa iman dan
Islam hanya satu. Akan tetapi Abul Hasan al-Asy'ari mengatakan: Iman
dan Islam itu berlainan".
Abu Manshur al-Maturidi berpendapat, bahwa: "Islam itu mengetahui dengan yakin akan adanya Allah, dengan tidak meng-kaifiyat-kan-Nya dengan sesuatu kaifiyat,
dengan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya.
Tempatnya yang tersebut ini, ialah dalam hati. Iman ialah mempercayai
(mengetahui) akan ketuhanan-Nya dan tempatnya ialah di dalam dada
(hati). Makrifat ialah mengetahui Allah dan akan segala sifat-Nya.
Tempatnya ialah di dalam lubuk hati (fuad).
Tauhid ialah mengetahui (meyakini) Allah dengan keesaan-Nya. Tempatnya
ialah di dalam lubuk hati dan itulah yang dinamakan rahasia (sir).
Inilah empat ikatan, yakni: lslam, iman, makrifat, dan tauhid yang bukan
satu dan bukan pula berlainan. Apabila keempat-empatnya bersatu, maka
tegaklah Agama.
3. Cara Mengakui Ada-Nya Allah
Mengakui ada-Nya Allah, ialah: "Mengakui bahwa alam ini mempunyai Tuhan yang wajib wujud (ada-Nya), yang qadim azali, yang baqi (kekal),
yang tidak serupa dengan segala yang baharu. Dialah yang menjadikan
alam semesta dan tidaklah sekali-kali alam ini terjadi dengan sendirinya
tanpa diciptakan oleh yang wajib wujud-Nya itu".
Demikianlah ringkasan cara mengetahui akan ada-Nya Allah, Sang Maha
Pencipta dan Maha Pengendali alam yang sangat luas dan beraneka ragam
ini.
4. Cara Menetapkan Ada-Nya Allah
Agama Islam menetapkan ada-Nya Tuhan (Wujudullah)
dengan alasan yang jitu dan tepat, yang tidak dapat dibantah dan
disanggah; karena alasan yang dikemukakan oleh Agama Islam (al-Qur'an)
adalah nyata, logis (manthiqy) dan ilmiah.
Dalailul Wujud atau Dalailut Tauhid ini dibahas dalam kitab-kitab ilmu kalam, karenanya baiklah kita tinjau lebih dahulu keadaan perkembangan ilmu kalam itu.
4.1. Aliran Kitab Tauhid
Untuk menjelaskan dalil-dalil yang diperlukan dalam menetapkan
dasar-dasar aqidah, para ulama tauhid (ulama kalam), dari abad ke abad
terus-menerus menyusun berbagai rupa kitab tauhid dan kitab kalam.
Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga aliran:
(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atha'.
(3)
Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari. jejaknya
berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani,
al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain seperti ath-
Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.
Di samping itu ada pula aliran Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma
yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan,
tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar.
Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang
dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2
1. Dari 1 sampai 10, baik dilewati, jika ingin langsung mempelajari dalil-dalil ada-Nya Allah ataudalailul wujud atau dalailut tauhid.
2. Lihat. 'Abdurrahman al-Jazairi Taudihul 'Aqa'id.
4.2. Pengertian Ilmu Tauhid
Ada beberapa ta'rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah
ini disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang
dimaksud.
Pertama: Ilmu tauhid, ialah
"ilmu yang membahas dan melengkapkan segala hujjah, terhadap keimanan,
berdasarkan dalil-dalil akal serta menolak dan menangkis segala paham
ahli bid'ah yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus".
Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:
[1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifat-sifat yang harus(mumkin) bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya.
[2]
Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan
kerasulannya; tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan tentang sifat-sifat yang mustahil baginya.
Ta'rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai
ketuhanan, kerasulan, maupun mengenai soal-soal gaib yang lain, seperti
soal malaikat dan akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian,
kitab, malaikat) dan Sam'iyat (soal-soal keakhiratan, alam gaib).
Ta'rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal yang mengenai
ketuhanan dan kerasulan saja.
Dengan berpegang pada ta'rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid
membahas soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal
akhirat, dan lain-lain yang berhubungan dengan soal beriman di bagian
akhir dari kitab-kitab mereka.
Ulama yang berpegang pada ta'rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad
Abduh yang sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan adalah salah
satu dari kitab yang berpegang pada takrif kedua.3
3. Risalah Tauhid.
4.3. Perkembangan Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur'an Membicarakannya
Ilmu yang membahas dasar-dasar iman kepada Allah dan Rasul, telah sangat
tua umumnya. Di setiap umat sejak zaman purba, ada ulamanya yang
membahas ilmu ini. Cuma, mereka dahulu tidak mendasarkan
penerangan-penerangan yang mereka ajarkan, kepada alasan-alasan akal;
bahkan mereka kurang sekali mendasarkan kepercayaan kepada hukum dan
karakter alam.
Al-Qur'an yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih
kurang, segala yang belum sempurna, memakai cara dan sistem berpadanan
dengan perkembangan akal dan kemajuan ilmu. Al-Qur'an menerangkan iman
dengan mengemukakan dalil serta membantah kepercayaan yang salah dengan
memberikan alasan-alasan yang membuktikan kesalahannya. Al-Qur'an
menghadapkan pembicaraannya kepada akal serta membangkitkan dari
tidurnya dan membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya ahli-ahli
akal itu memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur'an-lah akal bersaudara
kembar dengan iman.
Memang diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara "ketetapan agama",
ada yang tidak dapat diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan
karena akal menetapkannya, seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah,
qudrat-Nya, ilmu-Nya dan seperti membenarkan kerasulan seseorang rasul.
Demikian juga mereka bermufakat menetapkan, bahwa mungkin agama
mendatangkan sesuatu yang belum dapat dipahami akal. Akan tetapi,
mungkin agama mendatangkan yang mustahil pada akal.
Al-Qur'an mensifatkan Tuhan dengan berbagai sifat yang terdapat namanya pada manusia, seperti:qudrat, ikhtiyar, sama', dan bashar. karena al-Qur'an menghargai akal dan membenarkan hukum akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan)
yang lebar bagi ahli-ahli akal (ahli-ahli nadhar) itu dalam menetapkan
apa yang dimaksud oleh al-Qur'an dengan sifat-sifat itu. Pintu nadhar
ini membawa kepada berwujud berbagai rupa paham diantara para ahli akal
atau nadhar. Perselisihan yang terjadi karena berlainan nadhar ini,
dibenarkan al-Qur'an asal saja tidak sampai kepada meniadakan
sifat-sifat Tuhan, seperti yang diperbuat oleh golongan Mu'aththilah dan tidak sampai kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.
Para ulama salah mensifatkan tuhan dengan sifat-sifat yang tuhan
sifatkan diri-Nya dengan tidak meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya
dengan makhluk dan tidak menakwilkannya. Para mutakalimin khalaf
mensifatkan Tuhan dengan cara menakwilkan beberapa sifat yang menurut
pendapat mereka perlu ditakwilkan. Golongan mutakalimin khalaf
membantah ta'thil (meniadakan sifat Tuhan) dan membantah tamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat rnakhluk).
Ringkasnya, para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh.
tetapi dengan mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk. 4
4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad al-Bahy dalam al-Janibul llahi.
4.4. Kedudukan Nadhar Dalam Islam
Dalam kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan akal di sekitar masalah yang dapat dijangkau oleh akal (ma'qulat).
Para filosof bermufakat, bahwa nadhar itu hukum yang digunakan dalam
mengetahui dalil. Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan
menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran
dan kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli hak dan ahli batal.
Tidak dapat diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan
dengan nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah
untuk menjelaskan hal-hal yang gaib agar dapat dicerna oleh akal
disamping menentukan mana yang benar diantara dua pendapat yang berbeda.
Melalui nadhar, manusia bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan.
Untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang batal. mana yang kufur dan
mana yang iman, demikian pula untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya lebih
jelas haruslah melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta. Tidak mau
lagi melakukan nadhar adalah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam
al-Qur'an cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk
melakukan nadhar. Diantara-nya ialah:
Katakanlah ya Muhammad: "Lihatlah
apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berguna tanda-tanda dan
peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman". (QS. Yunus (l0): 10l).
Mengapakah mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang Allah jadikan?. (QS. al-A'raf (7): 185).
Maka ambil ibaratlah wahai ahli akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-An'am (6): 75).
Ayat-ayat tersebut diatas adalah nash yang tegas yang mendorong untuk
melakukan nadhar terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas
pula yang mewajibkan kita memakai qiyas 'aqli atau qiyas manthiqi dan sya'i. Ayat yang terakhir menerangkan, bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as.
4.5. Kedudukan Akal Dalam Pandangan Islam
Dalam kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa akal itu, ialah tenaga jiwa untuk memahamimujarradat (sesuatu
yang tidak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa
yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir sesuatu agar diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir.
Tersebut dalam suatu kitab falsafah: "Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui makna mujarradat, makna yang diperoleh dari menyelidiki dan rupa-rupa benda". memperhatikan rupa-rupa benda". Al-Mawardi dalam A'lamun-Nubuwwah menulis:
"Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala
yang menjadi kepastiannya". Ada pula yang mengatakan: "Akal itu kekuatan
yang membedakan yang hak dengan yang batal".
Al-Mawardi membagi akal kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi adalah pokok akal, sedang kasbi adalah cabang yang tumbuh daripadanya: itulah akal yang dengannya berpaut dan bergantung taklif dan beribadat. Adapun akal kasbi (akal muktasab), ialah akal yang digunakan untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini tidak dapat terlepas dari akal gharizi, sedang akal gharizi mungkin terlepas dari akal ini.
4.6. Martabat Akal Dalam Memahami Hakikat
Para hukama berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan jalan: [1]
dengan pancaindera, dalam hal ini manusia sama dengan hewan; dan [2]
dengan akal (rasio).
Mengetahui sesuatu dengan akal hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah manusia berbeda dari binatang.
Orang yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma'qulat (yang
diperoleh melalui akal) nyata kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang
diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa yang diketahui melalui
indera pemandangan akal sama dengan sesuatu yang masib kabur, dibanding
sesuatu yang telah dapat dipastikan baiknya melalui akal. Inilah
sebabnya Al-Qur'an dalam seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari
keesaan-Nya, membangkitkan akal dari tidurnya. Seruan yang begini, tidak
dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah dibayangkan
sebelum ini.
4.7. Bukti Kelebihan Dan Keutamaan Akal Atas Pancaindera
Para hukama telah membuktikan, bahwa akal lebih mulia dari pancaindera.
Apa yang diperoleh akal lebih kuat dari yang didapati pancaindera.
Alasannya:
[1] Pancaindera hanya dapat merasa, melihat dan membaui.
[2]
Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan
berbagai soal yang hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam
pengetahuan hasil nadhar.
[3] Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja, yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss).
4.8. Akal Pokok Pengetahuan
Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang menyampaikan kepada meyakini mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan akal dan mad-lul-nya
diyakini dengan jalan dalil. Tegasnya, akal itu menyampaikan kepada
dalil; dia sendiri bukan dalil. Karena akal itu pokok segala yang
diyakini, baik dalil maupun madlul. Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, akal adalah pokok pengetahuan (al-'aqlu ummul 'ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang mustahil.
Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.
1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu
melakukan nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang
dirasakan; dan [2] berita-berita mutawatir.
Ilmu yang dirasakan atau yang diperoleh dengan hiss, datang sesudah akal, dan ilmu khabar mendahului akal.
Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan nadhar dan istidal; karena mudah
diketahui. Khawwash dan 'awwam dapat mengetahuinya, ilmu yang diperoleh
dengan jalan ini, tidak ada yang mengingkarinya.
2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan
istidal. Dia tidak mudah diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil
atau dimintakan dalilnya.
Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:
- yang ditetapkan oleh akal (berdasarkan ketetapan-ketetapan akal).
- yang ditetapkan oleh hukum-hukum pendengaran (yang diterima dari syara').
Hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan akal terbagi dua pertama, yang
diketahui karena mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil akal
(nadhar); kedua, yang diketahui karena mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.
Yang diketahui dengan tidak perlu kepada dalil akal (nadhar)
ialah yang tidak boleh ada lawannya, seperti keesaan Allah. Dengan
sendirinya akal dengan mudah mengetahui keesaan Tuhan itu. Yang
diketahui dengan memerlukan dalil akal, ialah: yang boleh ada lawannya,
seperti seseorang nabi mendakwakan kenabiannya. Ringkasnya mengetahui
atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal; sebab dengan
mudah akal dapat mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan seseorang
rasul, memerlukan dalil akal.
Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan hukum pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari'ah,sedang
akal disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun
pendengaran tidak disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan akal
semata-mata.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh pendengaran ada dua macam: yakni: Ta'abbud dan Indzar.Ta'abbud mencakup larangan dan suruhan. Indzar, mencakup wa'ad dan wa'id.
4.9. Jalan Mengetahui ada-Nya Allah
Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah adalah daruri, jika ditinjau dari sudut akal, dannadari dari sudut hiss pancaindera.
Ilmu adakala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma'qulat), adakala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan. Seseorang manusia bisa memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah adalah suatu iktisab (hal
yang diperoleh dengan jalan istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan
membolak-balikkan masalah dengan pertolongan akal. Dia dapat pula
memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; karena akal yang sejahtera menggerakkan manusia kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal mengingkari-Nya.
Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang
empat belas, menulis: "Anda dapat memperhatikan alam makhluk, kalau
anda lihat tanda-tanda pembuatan. Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad(alam
yang terlepas dari kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh
tidak ada-Nya Zat. Dan dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya
sifat-sifat yang ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda turun".
0 komentar:
Posting Komentar